Dancing Red Rose Biografi al-Farabi sang madzhab Filsafat Langsung ke konten utama

Biografi al-Farabi sang madzhab Filsafat



A.      Biografi Al Farabi
Al Farabi adalah salah seorang filsof Islam yang hidup pada periode kedua masa pemerintahan Abbasiyah. Ada yang mengatakan bahwa dia berasal dari Persia, dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Wasij, di distrik kota Farab, provinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/870 M. Nama lengkap Al Farabi adalah  Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibnu Turkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi. Dinamai dengan Al Farabi karena dihubungkan dengan Farab, desa kelahirannya. Dia kelahiran bangsa Turki tetapi mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persia. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer di kalangan dinas kletentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, provinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah.[1]

Pendidikan dasar dan masa remaja Al Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa, terutama di bidang bahasa, khususnya bahasa Persia, Turkistan dan Kudistan, selain itu juga ia mempelajari kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping Al-Qur’an.
Dalam usianya yang masih sangat muda, ia bersama ayahnya pergi ke Baghdad, waktu itu merupakan pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan untuk belajar.

B.     Karya dan Kontribusi Al Farabi dalam Perkembangan Keilmuan
Ada banyak sekali karya Al Farabi dalam bidang keilmuan. Sebagaimna laporan Osman Bakar.[2] Al Farabi menulis sekitar 100 karya ilmiah, besar dan kecil, yang mencakup berbagai tema diantaranya linguistik, fisika, metafisika, politik, astronomi, musik dan beberapa tulisan tentang sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Karya Al Farabi yang terkenal berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah Ihsha’ al-Ulum (perincian ilmu-ilmu). Di sini Al Farabi mengklasifikasikan  berbagai cabang keilmuan dalam 8 tema pokok ; linguistik, logika, ilmu matematika, fisika, metafisika, ilmu politik, yurisprudensi dan teologi. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin, De Scientiis, pada abad ke-12 oleh Gundisalimus dan Girrardo Geremona, dan kemudian memberi pengaruh besar bagi kehidupan filsafat Barat beberapa abad sesudahnya. Dalam dunia islam sendiri, menurut Nasr, buku tersebut diakui sebagai klasifikasi pertama yang dikenal secara luas oleh masyarakat dan paling berpengaruh dalam sejarah islam periode awal. Atas dasar itulah, al Farabi digelari sebagai al-Muallim al-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Karena al Farabi dinilai sebagai tokoh yang mendefinisikan, setelah Aristoteles, batas-batas dan rambu-rambu dari setiap cabang pengetahuan serta merumuskan setiap ilmu dalam suatu cara yang sistematik dan permanen dalam peradaban islam. Jadi bukan sekedar sebagai orang yang mengajar dan menguasai ilmu-ilmu.
Al Farabi memang jauh lebih dikenal sebagai seorang filsuf ulung daripada seorang ahli di bidang lain.[3] Guru filsafatnya adalah seorang Kristen Nestorian, Yuhanna bin Haylan. Al Farabi sendiri, menurut Ibnu Abi Ushaybi’ah, bersama al-Mas’udi pada akhirnya bekerja di sebuah cabang sekolah filsafat Yunani di Alexandria, yang tetap dilanjutkannya sampai sesudah penaklukan.
         



C.     Pandangan Al Farabi tentang Pengetahuan
Dalam filsafat al Farabi tergolong di dalam kelompok filsuf kemanusiaan.[4] Ia lebih mementingkan soal-soal kemanusiaan seperti akhlaq (etika) terhadap intelektual politik dan seni. Dan menurut Prof. Gilson menyatakan bahwa ia amat mencintai tokoh filsafat (Plato & Aristoteles). Filsafat Al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan aliran Syiah Imamiah. Dalam soal mantiq dan filsafat fisika umpamanya, ia pengikut pemikiran-pemikiran Aristoteles. Sedangkan dalam lapangan metafisika Al Farabi mengikuti jejak Plotinus.
Menurut al Farabi, ia menyatakan bahwa kemampuan berpikir adalah kekuatan utama manusia untuk memahami suatu objek. Dengan kemampuan tersebut, manusia memperoleh ilmu-ilmu, mengembangkan seni dan industri serta membedakan antara tindakan yang baik dan buruk. Al Farabi membagi kemampuan berpikir dalam dua bagian, yaitu teoritis dan praktis. Kemampuan berpikir praktis adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa sesuatu objek dengan yang lain sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya dari satu kondisi ke kondisi lain. Sedangkan daya berpikir teoritis berfungsi untuk menerima bentuk-bentuk objek tertentu yang bersifat universal dan immaterial, yang disebut sebagai objek intelektual.[5] Bentuk-bentuk objek tersebut terbagi menjadi dua macam : (1) bentuk-bentuk universal yang diabstraksikan dari materi-materi, (2) bentuk-bentuk yang senantiasa terjaga aktualitasnya, yakni bentuk-bentuk yang tidak dan tidak pernah berwujud dalam materi.
Menurut al Farabi, setiap manusia mempunyai watak bawaan tertentu yang siap menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal. Watak tersebut disebut intelek potensial. Intelek ini berisi potensi-potensi yang akan mengabstraksikan bentuk-bentuk pengetahuan yang diserapnya setelah meningkat menjadi intelek aktual. Namun, menurutnya proses abstraksi dari intelek potensil itu sendiri tidak akan terjadi kecuali ada cahaya dari intelek aktif.
Ia mengidentifikasi intelek aktif dengan ruh suci atau Jibril, malaikat pembawa wahyu dalam kajian teologi islam.[6] Intelek aktif adalah gudang sempurna bentuk-bentuk pengetahuan. Dia berfungsi sebagai model kesempurnaan intelektual. Manusia dapat mencapai tingkat wujud tertinggi yang dimungkinkan baginya ketika dalam dirinya mewujud sosok manusia hakiki. Yaitu, ketika intelek manusia dapat bertemu dan bersatu dengan intelek aktif, sehingga ia dapat memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan demikian, apa yang menjadi sumber pengetahuan dalam perspektif al Farabi adalah intelek aktif, bukan objek-objek yang bersifat material-empirik maupun non-empirik, juga bukan rasio semata. Sebab, intelek aktif inilah yang telah membuat realitas-realitas wujud yang awalnya merupakan bentuk universal dan sederhana menjadi aktual, dan di sisi lain membimbing intelek potensial manusia untuk mampu menangkapnya sehingga memunculkan apa yang disebut pengetahuan.

D.     Konsep Wujud oleh al Farabi
Al Farabi menggunakan istilah wujud dan maujud untuk menunjuk pada sebuah eksistensi.[7] Al Farabi berpendapat bahwa setiap yang maujud, termasuk ke dalam kategori wajib al-wujud atau mumkin al wujud, tidak ada kemungkinan wujud ketiga. Ketika yang maujud itu tergolong kepada kategori mumkin al-wujud, maka maujud itu harus didahului oleh adanya suatu sebab yang menjadikan keberadaannya. Istilah maujud menunjuk pada zat dari sebuah eksistensi, sedang istilah wujud menunjuk pada esensi dari eksistensi yang dimaksud.
Istilah maujud atau wujud al Farabi mencakup semua bentuk eksistensi, baik entitas-entitas material, metafisik maupun konsep-konsep dalam pikiran yang merupakan hasil dari olah nalar. Al Farabi menyatakan bahwa kata maujud menuju pada empat bentuk eksistensi,[8] yaitu:
1.     Semua jenis benda yang dikenal di bumi,
2.     Benda-benda langit dengan seluruh derivasinya,
3.     Seluruh bentuk proposisi yang ada dalam pikiran,
4.     Keputusan-keputusan yang dipahami.

Menurut al Farabi, yang kita ketahui dari sebuah objek atau realitas bukanlah wujud material objek itu sendiri melainkan gambaran (representasi) objek atau ide yang dipahami rasio berdasarkan tangkapan indera-indera eksternal terhadap objek. Namun, gambaran wujud yang disodorkan al Farabi ini tidak sama dengan pemahaman kaum representasionisme yang terbuka untuk dikritik. Menurutnya, benar bahwa yang diketahui dari sebuah objek adalah idenya, bukan wujud materialnya. Akan tetapi, ide ini bukan sama persis dengan wujud materialnya (monisme), juga bukan sesuatu yang berbeda dengannya (dualisme), melainkan representasi yang dihasilkan dari esensinya.
Dalam pandangan al Farabi, setiap benda atau objek terdiri atas dua unsur atau dua dimensi: dimensi wujud material (maujud) yang mempunyai eksistensi dalam ruang dan waktu, dan dimensi wujud esensial (wujud) yang tidak menempati ruang dan waktu tertentu.[9] Hubungan antara keduanya adalah seperti hubungan antara raga dan jiwa di mana wujud material adalah wahana bagi esensi. Menurutnya, antara kedua itu mempunyai kualitas wujud yang sama.
Selanjutnya, dari aspek sifat, al Farabi membagi realitas wujud juga dalam dua bagian: wujud potensial (wujud bi al-quwwah) dan wujud aktual (wujud bi al-fi’l). Suatu benda akan tetap menjadi sebuah entitas potensial sepanjang masih berupa materi (maddah) tanpa bentuk (shurah). Bentuklah yang membuat suatu wujud menjadi aktual. Karena itu, dalam pandangan al Farabi, bentuk adalah prinsip ontologis yang lebih unggul daripada materi karena bentuk yang mengaktualkan materi, dan bersamaan dengan itu, wujud potensial bersifat kontigen (mumkin) sedang wujud aktual bersifat pasti (wajib).
Menurut al Farabi, semua benda pada awalnya hanya bersifat potensial. Tidak ada satu pun benda yang muncul secara aktual sejak dari sebelumnya. Pada permulaannya, ia hanya ada secara potensial dalam dzat diri Tuhan atau “materi pertama universal”, suatu eksistensi non-fisik yang merupakan produk abadi materi langit. Dari dzat diri Tuhan keluar intelek pertama dan seterusnya, sedang dari materi pertama muncul “sumber” wujud-wujud material, yaitu api, udara, air, dan tanah. Selanjutnya, dari campuran keempat materi awal tersebut muncul benda-benda lainnya, sehingga wujud-wujud potensial memperoleh eksistensinya secara aktual.
Teori ini kemudian diulang oleh Ibn Arabi (1165-1240) dua abad kemudian. Menurutnya, semua yang ada dalam semesta (wujud-wujud aktual), dalam segala keadaannya, pada awalnya hanya ada potensial dalam ilmu Tuhan yang disebut al-a’yan al-tsabitah. Tidak ada satupun yang lepas dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan dari permulaannya. Realitas-realitas aktual tidak lain adalah aktualisasi dari al-a’yan al-tsabitah tersebut, sehingga apa yang ada dalam pikiran Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak riil dalam semesta. Satu-satunya yang membedakan hanya dari aspek “kualitas” yaitu bahwa realitas potensial dalam pikiran Tuhan tidak berwujud konkrit serta bebas dari ruang dan waktu, sedang yang disebut kedua bersifat konkrit serta terikat ruang dan waktu.
Secara ringkas, pandangan al Farabi yang dikutip dalam bukunya yang berjudul ”Risalah Fisiyah”,[10] seperti yang dikutip oleh Oemar Amin Husain, mengatakan bahwa :
1.     Anak Membawa Sifat Baik dan Buruk dan kemampuan itu.
Anak-anak berbeda pembawaannya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus disesuaikan dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu. Karena diantara anak-anak yang berwatak buruk itu akan dipergunakannya untuk tujuan perbuatan-perbuatan buruk, maka seharusnya pendidikan membawa mereka ke dalam pembinaan.
2.     Melakukan Pembinaan Diri (Tafakur)
Pembinaan diri pribadi ke arah jalan yang terbaik yaitu agar mengadakan hal ikhwal kepada masyarakat, bangsa-bangsa dan pekerja-pekerja mereka serta hal ikhwal pejabat-pejabat pemerintah dari mereka baik langsung disaksikannya atau tidak langsung dari apa yang didengarkannya dan lalu ia memperhatikan sungguh-sungguh dan menganalisis semua yang diketahuinya itu dan mengklasifikasikan antara kebaikan dan keburukannya antara yang bermanfaat dan madhorot terhadap mereka.
3.     Anak Berbeda dalam Pemahaman/Kecerdasan
Di antara anak ada pula yang lemah kecerdasannya, yang sulit untuk dikembangkan. Kepada anak golongan ini diberikan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Namun banyak pula dari anak-anak itu punya ahlaq yang luhur, pribadi yang baik, kepada mereka inji haruslah diberikan pendidikan dan pengajaran sebanyak-banyaknya sesuai dengan bakat pembawaan mereka.
4.     Kekuatan Jiwa Manusia
Al Farabi membagi kekuatan-kekuatan jiwa ke dalam beberapa bagian :
a.     Kekuatan-kekuatan gizi (Quwwatul ghariyah), dengan kekuatan ini manusia menghisap makanan (gizi).
b.     Kekuatan-kekuatan Indrawi (Quwwatul Hassah), kekuatan indrawi timbul setelah kekuatan gizi. Dengan kakuatan indrawi manusia sanggup mengindra. Kekuatan pengindraan mempunyai sentral dan cabang-cabang yang disebut panca indra, dan otak sebagai sentral yang bertugas menghimpun seluruh apa yang ditangkap panca indra seutuhnya.
c.     Kekuatan imajinasi (mutakhayyilah), berfungsi menyimpan dan memelihara segala yang diterima alat-alat indrawi.
d.     Kekuatan nathiqoh, dengan daya ini seseorang dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak, membentuk pengertian-pengertian atau dengan kata lain dapat membuat keputusan yang mantap.

Menurut al Farabi, tujuan akhir dari hal-hal di atas adalah mengetahui Sang Pencipta, mengetahui bahwa Dia-lah satu-satunya yang tidak bergerak.[11] Dia-lah sebab pertama bagi adanya segala hal. Dia-lah yang mengatur alam semesta ini dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Satu hal yang membuat al Farabi begitu istimewa ialah pandangannya yang menyeluruh, mencakup keseluruhan yang lebih luas daripada bagian-bagiannya sendiri. Dia tidak lekas puas dengan pengetahuan yang sifatnya parsial. Dia selalu berupaya memperoleh bentuk alam semesta ini secara menyeluruh. Keinginan dan dorongan seperti inilah yang tampaknya mendorongnya mengabaikan berbagai perbedaan dan kajian mengenai bentuk-bentuk kesamaan antara berbagai mazhab filsafat.
Plato dan Aristoteles menurut pendapatnya yang sam dengan pengikut Neoplatisme, adalah dua orang yang berbeda metode, model, dan perjalanan hidupnya meskipun mazhab filsafat mereka sama. Dalam pemikiran politik, al Farabi sangat dipengaruhi oleh teori negara Plato, bahwa negara harus dipimpin oleh seorang filosof, dan bahwa pemimpin harus memiliki kelebihan seperti para nabi dan rasul.
E.      Wafatnya al Farabi
Pada tahun 949 M al Farabi kembali ke Damaskus, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut lingkaran diskusi orang-orang terpelajar.[12] Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal dan ahli tata bahasa, al Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasihat Sultan
Al Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia delapan puluh tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bab al-shagir) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.

sumber : google



[1] A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat pemikiran Epistemologi al Farabi, UIN Maliki Press, Malang, 2010, hlm.27.
[2] Ibid, 28.
[3] M. Natsir Arsyad, ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Mizan, Bandung, 1989, hlm. 99.
[4] Denu Aeni, “Biografi al Farabi”, diakses dari http://denuaeni98.blogspot.co.id/2015/01/biografi-al-farabi.html, pada tanggal 02 April 2016 pukul 11.20.Bottom of Form


[5] A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al Farabi, UIN Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 50.
[6] Ibid, 53.
[7] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm. 128.
[8] A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al Farabi, UIN Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 55.
[9] Ibid, 57.
[10] Denu Aeni, “Biografi al Farabi”, diakses dari http://denuaeni98.blogspot.co.id/2015/01/biografi-al-farabi.html, pada tanggal 02 April 2016 pukul 11.20.Bottom of Form


[11] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm. 129.
[12] Muhamad Ali Utsman, Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang Mengubah Dunia, Beranda, Yogyakarta, 2010, hlm. 63.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sekolah/Madrasah yang Bermutu dan Efektif

Manajemen Sekolah/Madrasah yang Bermutu dan Efektif A.     Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini duunia pendidikan di Indonesia menggalakkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, yang akhir-akhir ini lebih dikenal dengan manajemen berbasis sekolah. Konsep ini sebenarnya telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1997/1998. Ada berbagai istilah lain untuk MPMBS selain manajemen berbasis sekolah, yaitu site-based management, delegated management, school authonomy, dan local management of school. [1] Apa yang dimaksud dengan MPMBS? Secara konseptual MPMBS dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan melibatkan semua stakeholder sekolah. Manajemen peningkatan mutu dan madrasah atau sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan. Sistemnya adalah m...

Cerita Bersambung (Cerbung) Memori 2009-part 5

Part 5 Yura Jatuh Cinta Lagi Koleksi Pribadi Selesai senam pagi, ketua OSIS memberi kode, kalau kami seluruh anggota OSIS berkumpul terlebih dahulu di ruangan OSIS. Ya, aku juga termasuk anggota OSIS, tapi tidak perlu aku sebutkan apa jabatannya. Hehehe. Kalau sudah kumpul secara diam-diam seperti ini, apalagi kalau tidak misi untuk melakukan razia. Di sekolahku, kami tidak boleh membawa hal-hal terlarang seperti yang telah tertulis di peraturan sekolah, seperti handphone, perhiasan yang mencolok, rok yang terlalu pendek bagi siswa putri, membawa rokok, dan celana yang terlalu sempit bagi laki-laki. Semua siswa tentu sudah tahu peraturan ini. Tapi ya itulah peraturan, tetap saja ada yang melanggar. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan razia. Kami pun membagi kelompok ada yang merazia kelas X, XI, dan XII. Aku mendapat bagian kelas XII, waktu itu Iko juga anggota OSIS, namun kami tidak satu kelompok. Dia mendapat bagian kelas XI. Ketika sedang melakukan razia di kelas XII,...

Cerita Bersambung (Cerbung) Memori 2009-Episode 3

Satu Hari di Bulan November   koleksi pribadi Part 3 “bentar ya, Ra. ada yang mau aku omongin ke Dani dan Putra. Kamu tunggu disini aja” kata Vita sambil berlalu meninggalkan aku. Bersamaan dengan itu, Iko berjalan ke arahku. Aku biasa saja karena memang tempat aku berdiri itu adalah jalan kecil, mungkin Iko dan kawan-kawan mau ke Warung bi Iyem (Warung Bi Iyem adalah tempat cowok-cowok biasa nongkrong disana). Hanya saja, karena Vita lagi ngobrol dengan Dani dan Putra jadi Iko duluan. Sampai Iko mendekat ke arahku, tiba-tiba.. “Ra, boleh ngomong sebentar engga?” kata Iko kepadaku. “oh, iya boleh, ngomong aja Ko.” Kataku. Kamu tau, aku gak pernah terpikir Iko mau ngomong apa, aku hanya mengira dia basa-basi saja sambil menunggu teman-temannya “kita duduk di bawah pohon jambu itu aja, ya?” kata Iko lagi Aku hanya menganggukkan kepala dan dia mempersilahkan aku duduk. Kami duduk berhadap-hadapan, jaraknya sekitar satu setengah meteran. Bahkan ketika duduk i...